Senin, 13 Juni 2016

Sehat Itu Mahal
Terbaringlah di kamarnya yang dipenuhi oleh mainan dan peralatan sekolahnya, juga ada beberapa obat demam dan obat flu yang tampak di kamar Alif. Alif adalah anak dari ibu Ina dan bapak Banu. Karena ia anak tunggal, ia sangat dimanja oleh kedua orangtuanya terutama oleh sang ibu, karena sangat dimanja Alif jadi anak yang bandel dan suka membantah perintah kedua orangtuanya. Kejadiannya tiga hari yang lalu. Waktu itu Alif dan teman-temannya pulang dari sekolah, namun di tengah jalan tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Teman-teman Alif memilih untuk berteduh, namun tidak dengan Alif, ia justru memilih untuk hujan-hujanan daripada berteduh dengan teman-temannya.
“Alif, kenapa kamu basah kuyup begini? Kamu habis hujan-hujanan ya?” tanya pak Banu dengan nada marah saat Alif sudah sampai di rumah.
“Ayah, anak baru pulang jangan langsung dimarahi, kasihan Alif lagi kedinginan. Nanyanya nanti saja yah, sekarang Alif mandi dulu,” ujar iBu Ina. Alif langsung bergegas mandi dan istirahat.
“Tuh kan, Ibu jangan terlalu memanjakan dia, jadi dia suka membantah,” ujar pak Banu pada Bu Ina.
“Iya Yah, nanti Ibu akan nasihati dia,”
Kemudian ibu membuatkan teh hangat untuk Alif. Saat ibu Ina sudah di kamar Alif, ia melihat Alif yang sedari tadi bersin-bersin dan badannya sangat panas.
“Alif kenapa? Alif sakit?” tanya sang ibu.
“Alif enggak tahu Bu, tiba-tiba badan Alif jadi panas banget dan dari tadi Alif bersin melulu Bu,”
“Ya sudah kita ke dokter saja ya,” saran Bu Ina.
“Tidak Bu, Alif tidak mau. Alif ingin makan es krim saja,”
“Alif kamu kan lagi sakit, nggak boleh makan es krim dulu ya Nak,” nasihat Bu Ina.
“Yah, kali ini saja Bu,” Alif memohon.
“Tidak Alif, kalau kamu tidak mau ibu ajak ke dokter, lebih baik kamu istirahat saja. Tapi kamu jangan makan es krim ya. Ibu ke luar dulu, jangan lupa tehnya diminum,”
“Iya Bu,”
Akhirnya Alif pun menurut. Tapi sifatnya yang suka membantah perintah ataupun nasihat orangtuanya itu muncul. Pada malam hari ketika ayah dan ibunya tertidur, Alif diam-diam mengendap-endap menghampiri lemari es dan mengambil es krim, lalu melahapnya sampai habis. Pagi harinya, demam Alif semakin parah. Orangtuanya sangat khawatir. Mereka langsung membawa Alif ke dokter. Setelah diperiksa dan diberi obat, Alif mulai menyesali perbuatannya. Melihat Alif yang tampak sedih, ibunya pun bertanya.
“Alif kenapa, kok sedih?”
“Alif minta maaf Yah, Bu. Tadi malam Alif makan es krim, jadi sakit Alif semakin parah,”
“Jadi semalam kamu tidak nurutin nasihat Ibu?”
“Iya Bu. Maafin Alif ya, Alif janji deh nggak akan ulangi lagi,”
“Iya Nak, Ibu maafin. Tapi kamu nggak boleh ulangi lagi ya, dan jangan suka membantah perintah orangtua,”
“Iya Lif, jangan diulangi lagi ya. Kesehatan itu mahal harganya. Di luar sana banyak orang yang sakit parah dan menghabiskan uangnya demi menyembuhkan sakit yang dideritanya karena ingin sehat. Maka dari itu selagi masih diberi kesehatan dari Allah SWT. Kita harus menjaga kesehatan dengan baik,” nasihat pak Banu.
“Iya Yah. Sekarang Alif mengerti dan Alif tidak akan membantah Ayah dan Ibu lagi, sekarang Alif akan patuh pada Ayah dan Ibu,” ujar Alif dengan wajah berseri-seri.
Kini Alif jadi anak yang penurut, dan ia sering kali memperingatkan teman-temannya untuk menjaga kesehatan. Karena sehat itu mahal.

Selasa, 05 April 2016

Sahabat Sejati



Sahabat Sejati Tak Akan Pernah Terganti

Dina dan Dini adalah sahabat karib sejak masih duduk di bangku SD, sekarang tiba waktunya mereka berpisah. Mereka sudah kelas 6 dan akan lulus menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi. Keduanya memilih ke sekolah lanjutan yang berbeda sesuai minat dan bakat mereka masing masing. Dina yang berambut sebahu, kulitnya lumayan putih, dan berasal dari keluarga yang mampu melanjutkan ke sekolah yang favorit di kota mereka. Sedangkan Dini yang berambut agak panjang, kulit sawo matang dan lahir keluarga yang sederhana hanya melanjutkan ke sekolah biasa. Keduanya tetap menjaga komunikasi.
Hingga pada akhir mereka kelas 9, komunikasi pun jarang bertemu juga tidak ada waktu. Keduanya sibuk dengan urudannya masing masing. Tapi, Dina mencoba tetap menjaga keutuhan persahabatan mereka berdua, Dina mencoba bermain ke rumah Dini dan mencoba menghubungi Dini tetapi Dini hanya cuek dan hanya mementingkan urusan sekolahnya. Dina yang sudah mulai muak dengan itu semua. Dia melanjutkan sekolahnya ke kota lain meninggalkan Dini. Suatu ketika Dini merasa kesepian dan rindu dengan sahabatnya Dina, dan Dini mencoba bermain ke rumah Dina tapi Dini mendapati berita bahwa Dina sudah pindah sejak lama. Dan Dina menitipkan sebuah surat yang isinya.
“Hai Dini sahabatku, apa kabar engkau? Semoga baik-baik saja. Aku sudah pindah meninggalkanmu, sebenarnya aku sudah berusaha mengabarimu tapi kamu gak pernah ada waktu. Kamu tahu gak? Aku sayang banget sama kamu, aku pengen persahabatan kita langgeng sampai kita tua tetap bersama. Tapi ini sudah menjadi keputusankuku harus ikut dengan orangtuaku. Suatu saat jika aku sudah pulang kalau aku dan kamu sudah besar kita tetap sahabatan kan? Kamu juga sayang kan sama aku? Kamu mau kan jadi sahabatku selamanya? Oiya aku hampir lupa. Sebenarnya satu hari sebelum aku pergi aku sempat ke rumah kamu ingin mengabarkan dan akan mengajakmu ke suatu tempat sebagai perjumpaan akhir sebelum aku pergi, tapi kata ibumu kamu lagi pergi dengan teman teman baru SMP-mu. Saat itu aku kecewa dan cemburu banget tapi aku coba ngertiin kok kalau kamu sibuk. Dan akhirnya aku buat surat ini untukmu. Aku selalu sayang kamu your my best friend.”
Nggak terasa air mata Dini jatuh deras sekali saat membaca surat dari sahabatnya itu, di antara isak tangisnya ia berkata, “Dina, aku juga sayang sama kamu maafkan aku ya yang selalu sibuk dengan urusanku, ku tunggu sampai kamu pulang nanti, your my best friend.” dan Dina pun menyesal karena tidak pernah ada waktu buat sahabat karibnya. Tetapi beberapa tahun kemudian mereka sudah dewasa, Dina pulang dari luar kota dan Dini yang mendapati kabar tersebut langsung menggoes sepeda kenangannya dengan sahabatnya itu menuju rumah sahabatnya, Dina. Akhirnya mereka bertemu dan Dini memeluk Dina dengan erat. Dini takut kehilangan sahabatnya untuk kedua kalinya. Dan akhirnya mereka saling mengerti memahami waktu untuk mereka bertemu dan bercanda tertawa bersama seperti masa kecilnya.